Pendapat
Sejarah menunjukkan bahwa semenjak diproklamasikan berdirinya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga kini belum pernah ditangani sebuah pemerintahan yang berhasil menyelenggarakan sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang benar-benar konsisten dan teguh sesuai dengan yang ditanamkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Pemerintahan Presiden Soekarno sejak awal proklamasi kemerdekaan telah banyak menemui kesulitan baik dalam menangani benturan kepentingan antar kelompok Republik sendiri maupun menjaga dan mempertahankan agar pemerintahan NKRI tetap survive dalam menghadapi berbagai ancaman agresi Pemerintahan Belanda. Pemerintah saat itu terombang ambing oleh berbagai desakan untuk mencoba sistem di luar Pancasila dan UUD 1945, yaitu sistem Kabinet Parlementer, kemudian bentuk negara serikat, dan pada tahun 1950-1959 kembali lagi pada sistem parlementer dengan bentuk negara kesatuan. Sistem-sistem tersebut justeru menjerumuskan bangsa
Akhirnya ketika pemerintahan Soekarno sudah tidak stabil lagi yang pada waktu itu dikenal era Orde Lama muncul pemerintahan baru yang dikenal dengan era Orde Baru yang dikendalikan oleh Soeharto. Pada era Soekarno sistem kepartaian yang muncul adalah dengan sistem multipartai, hal ini terbukti ketika pemilu pertama tahun 1955 banyak diikuti oleh partai politik, namun di Era Orde Baru dengan alasan untuk menciptakan stabilitas dan suksesnya pembangunan, akhirnya partai politik banyak yang difusikan dengan hanya merestui dua partai politik dan satu golongan karya. Walaupun demikian tampak jelas kalau yang berkuasa sebenarnya adalah Golkar dan yang lain hanyalah sebagai pelengkap saja. Untuk memperkuat stabilitas nasional Soeharto dengan kekuatan tentaranya menjadikan masyarakat menjadi floating mass, kondisi yang demikian ini dengan harapan agar program pembangunan ekonomi bisa berjalan. Namun, bagaimanapun kuatnya Soeharto dan banyaknya lembaga demokrasi yang ada tetapi fungsinya dikebiri serta menjadikan negara Indonesia masuk perangkap globalisasi, ketika Thailand terkena badai krisis yang pengaruhnya sampai ke Indonesia, menjadikan Indonesia kolap karena dilanda krisis ekonomi dan berlanjut pada krisis kepercayaan. Kondisi yang seperti ini akhirnya menjadikan Soeharto tumbang.
Tumbangnya Orde Baru, diiringi dengan keinginan masyarakat untuk mendirikan partai politik yang selama ini dianggap tabu. Hal ini terbukti partai politik yang muncul pada waktu itu bagaikan munculnya jamur di musim hujan. Luar biasa, itulah yang muncul dari para pengamat karena partai politik yang begitu banyak tidak ditemui di negara selain
Gambaran seperti inilah yang setidaknya menggelitik pemikiran penulis melihat sistem kepartaian kita yang semakin tidak jelas arahnya dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis. Dari sini penulis menduga bahwa semua persoalan bangsa ini muncul karena prodak undang-undang pemilu sendiri yang masih menyisakan banyak persoalan dan sistem kepartaian kita yang masih abu-abu sehingga menjadikan fungsi partai politik sudah tidak optimal lagi. Apa memang benar demikian..? dari sinilah setidaknya makalah ini mencoba untuk mengelaborasi sistem kepartaian bagaimana yang kira-kira cocok untuk diterapkan di
B. Tataran Teoritik
Adalah Huntington yang mengatakan bahwa sistem satu partai ini merupakan bentuk modern dari bentuk autoritarianisme, namun belum mampu meninggalkan ciri khas asli dari autoritarianisme sendiri yaitu : tradisional, militeristik dan personalistik. Namun secara umum untuk menghadapi autoritarianisme tergantung pada kemungkinan sistem satu partai itu sendiri berkembang di masyarakat modern. Akan tetapi jika ada perkembangan yang lebih komplek perbedaan pengaruh dan disintegrasi pada sistem satu partai, maka hal yang seperti inilah yang akan menghancurkan sistem masa depan autoritarianisme. Untuk itu diperlukan inovasi politik yang harus mengembangkan bentuk aturan autoritarianisme yang lebih adaptif dan baru.[2]
Sementara itu Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa One Party Systems adalah dipakai untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara, maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya. Namun dalam ketegori yang terakhir ini banyak variasinya.[3] Pola partai yang seperti ini menurut Miriam Budiarjo banyak terjadi di negara-negara Afrika, Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian dalam hal ini dinamakan non-kompetitif oleh karena partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu. Kecenderungan untuk mengambil sistem ini disebabkan karena negara-negara baru pimpinannya sering dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan pelbagai golongan, daerah serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidup. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa partai tunggal atau organisasi yang bernaung dibawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat serta menekankan perpaduan dari kepentingan partai dengan kepentingan rakyat secara menyeluruh.[4]
Menurut pandangan Huntington sistem satu partai berbeda dengan sistem partai yang dominan, dimana dalam sebuah pemerintahan ada satu partai besar yang memerintah dan ada juga beberapa partai yang kecil, namun tidak dapat dianggap remeh dalam kalkulasi politik serta batas keduanya tidak dapat dibedakan dengan tepat karena yang berkuasa sama-sama dalam satu partai.[5] Hal ini bisa dijelaskan bahwa walaupun dalam sebuah negara ada partai yang berkuasa dan dominan, tetapi dalam pengambilan sebuah keputusan tidak begitu saja melupakan partai-partai kecil yang tentunya mempunyai kekuatan bila mereka mengadakan koalisi. Sementara itu kekuatan dan kelemahan sistem kapertaian ini menurut
C. Diperlukan Keberanian Elite Untuk Mengubah Sistem Pemilu
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian politik LIPI di lembaga legislatif lokal di
Kalau memang seperti itu, setidaknya menurut pandangan penulis sistem multipartai sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di
Setidaknya yang paling utama untuk keluar dari persoalan ini adalah dibutuhkan keberanian para elite politik dan pengambil kebijakan di Legislatif untuk melakukan perubahan mengenai sistem pemilu dan kepartaian kita. Tampaknya sistem multipartai pada saat ini belum cocok untuk diterapkan disaat bangsa ini sedang menghadapi dinamika persoalan yang ada di daerah-daerah. Kemudian yang terpenting disini adalah, kedepan bagaimana sistem pemilu yang terjadi pada tahun 2004 lalu, yang didalamnya masih menyisakan adanya kebohongan terhadap publik harus diubah. Karena kenyataanya para wakil rakyat yang duduk di legislatif sebagian besar jadi bukan karena kehendak rakyat, tetapi karena aturanlah yang menguntungkan mereka. Aturan yang tercipta selama ini merupakan hasil kompromi politik mereka yang pada dasarnya masih enggan untuk tidak terpilih lagi.
D. Sistem Distrik dan One Party System Sebuah Jawaban
Untuk mewujudkan sistem kepartaian yang baik, selain dibutuhkan keberanian elite untuk mengubah aturan, sistem distrik menurut hemat penulis terlepas dari kelebihan dan kekurangannya akan menjadi permulaan yang baik dalam mewujudkan hubungan yang erat antara rakyat dengan pengambil kebijakan. Kerena dengan sistem proporsional yang konsekwensinya muncul banyak partai, ternyata tidak begitu berpengaruh dalam proses artikulasi dan agregasi politik dalam proses legislasi. Yang terjadi kepentingan elitelah yang selama ini diutamakan daripada kehendak rakyat, karena fungsi partai sendiri tidak dapat berfungsi dengan baik. Miriam Budiarjo sendiri mengatakan bahwa partai politik merupakan sarana untuk berpartisipasi yang didalamnya terdiri dari para pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan dan idiologi sosial dengan lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik dalam masyarakat politik yang lebih luas.[12] Untuk itu setidaknya dengan sistem pemilu distrik ada hubungan yang erat antara para pengambil kebijakan dengan rakyatnya.
Nazaruddin Syamsuddin menjelaskan bahwa sistem distrik ini mensyaratkan adanya keadaan yang relatif saling kenal antara rakyat pemilih dengan wakil yang dipilihnya. Malah sering pula, masyarakat pemilih bukan hanya kenal dengan pilihannya, melainkan juga dengan keluargannya. Adanya pertalian akrab antara pemilih dengan orang yang dipilihnya, memudahkan rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan menuntut pertanggungjawaban dari wakilnya di kemudian hari. Agar sistem distrik dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan suatu kondisi masyarakat yang memungkinkan beroperasinya sistem tersebut. Kondisi yang umum untuk itu adalah bahwa rakyat telah mencapai tahap kedewasaan tertentu. Tingkat kedewasaan itu dapat dilihat dari : tingkat rasionalitas untuk menentukan kemampuan rakyat di dalam menjatuhkan pilihan terhadap berbagai calon yang saling bersaing didistrik mereka. Kemudian tingkat kesadaran politik yang tinggi akan dapat memilah ikatan-ikatan ideologis dari program yang diajukan kepadanya. Dengan kata lain, calon dipilih bukan karena kesamaan ideologi, melainkan karena kesamaan program yang ditawarkannya. Juga dengan kesadaran politik yang tinggi masyarakat dapat menilai perilaku partai yang diwakili oleh seorang calon. Kendatipun terdapat kondisi yang demikian, operasionalisasi sistem distrik sangat tergantung pada kehidupan politik masyarakat. Pelaksanaan sistem distrik tergantung pada bagaimana demokrasi dipraktekkan.[13]
Kemudian kurangnya sense of responsibility anggota legislatif terhadap rakyat yang memilihnya telah mengakibatkan kunjungan reses anggota dewan selama ini tidak efektif. Hal ini karena kurangnya kesadaran moral dan politik anggota dewan yang seharusnya menjalankan kewajiban untuk mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan politik masyarakat. Kurangnya rasa tanggungjawab para wakil rakyat ini menyebabkan beberapa persoalan diantaranya adalah :
1. Terjadinya gap, jarak sosial dan politik yang jauh antara masyarakat dan anggota legislatif.
2. Tidak adanya pertanggungjawaban secara politik seorang anggota legislatif kepada masyarakat yang diwakilinya.
3. Akibat kepentingan masyarakat daerah tidak terwakilkan dalam proses pengambilan kebijakan, maka mekanisme sistem politik lebih banyak dipengaruhi oleh elite daripada masyarakat.
4. Muncullah yang namanya desentralisasi setengah hati, yaitu cara kerja sentralisasi politik yang dibungkus dalam sistem politik desentralisasi.
Untuk itu sistem distrik disini merupakan sebuah alternatif jawaban, karena anggota legislatif akan mempunyai akuntabilitas politik kepada masyarakat daerahnya. Implikasi dari pemilihan umum yang lebih menekankan sistem distrik, maka rantai penyampaian aspirasi masyarakat kepada anggota dewan lebih pendek sehingga dapat mendorong masyarakat untuk menuntut akuntabilitas politik kepada anggota dewan.[14]
Dengan demikian sebenarnya distrik bukan sesuatu yang menakutkan sebagaimana yang ditakutkan pada masa Orde Baru, karena selama ini rakyat lebih beruntung kalau mengenal wakil-wakil mereka. Sementara itu para elite karena merasa tidak mempunyai kedekatan dengan
E. Penutup/Kesimpulan
Harapan untuk mewujudkan one party system di
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986)
---------------------- (Penyunting), Partisipasi dan Partai Politik,(Jakarta : PT Gramedia, 1982)
Huntington, Samuel P, Moore, Clement H. (ed), Authoritarian Politics In Modern Society The Dinamics of Established One Party Systems, (New York : Basic Books Inc Publ, 1970)
Harian Umum Kompas, Kamis 12 Mei 2005
Idris, A Kemal, Ardiantoro, Juri (penyunting), Problem Sistem Politik Transisional dan Tuntutan Penyelengaaraan pemilu 1999, (Jakarta : KIPP Jakarta, 1999)
Ma’shum, Saifullah, KPU dan Kontroversi Pemilu 1999, (
Noer, Deliar, Pengantar Ke Pemikiran Politik Edisi Baru, (Jakarta : CV Rajawali, 1983)
Sjamsuddin, Nazaruddin, Dinamika Sistem Politik
Shobirin Nadj, E (ed), Menjaring Aspirasi Rakyat Catatan Dari Dialog Anggota DPR Dengan Rakyat, (
[1] A Kemal Idris, Juri Ardiantoro (penyunting), Problem Sistem Politik Transisional dan Tuntutan Penyelengaaraan pemilu 1999, (Jakarta : KIPP Jakarta, 1999), hal. 39-40.
[2] Samuel P. Huntington, Samuel P. Huntington And Clement H. Moore (ed), Authoritarian Politics In Modern Society The Dinamics of Established One Party Systems, (New York : Basic Books Inc Publ, 1970), hal. 4
[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 167.
[4] Ibid, hal. 168
[5] Huntington, Op Cit, hal. 6.
[6] Huntington, Ibid, hal. 7.
[7] Yang disebut dengan aktor sendiri, dibagi menjadi
[8] Huntington, Op Cit, hal. 9.
[9] Harian Umum Kompas, Kamis 12 Mei 2005
[10] Dhakidae dalam hal ini mengkategorikan bahwa lahirnya partai politik ini terbagi menjadi empat generasi. Pertama, partai politik yang berdiri pada zaman pergerakandan motif kelahirannya dilandasi spirit untuk melawan kolonialisme. Kedua, partai yang lahir sesudah zaman kemerdekaan sampai pada pemilu 1955. Partai generasi ini pada umumnya didirikan dengan kepentingan yang sama yaitu memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Ketiga, partai politik yang eksis dan berkembang dibawha kendali kekuasaan Orde Baru. Partai pada zaman ini sebenarnya hanyalah ornamen demokrasi yang diperlukan penguasa yang sejatinya tidak begitu suka dengan partai politik yang dipahami sebagai sebuah institusi yang memiliki kekuatan politik. Keempat, adalah partai yang muncul di era reformasi yang ternyata analisis sosiologisnya menunjukkan adanya kesamaan dengan keberadaan partai pada generasi pertama. Uraian ini lebih jelasnya dapat dilihat dalam Saifullah Ma’shum, KPU dan Kontroversi Pemilu 1999, (
[11] Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik Edisi Baru, (Jakarta : CV Rajawali, 1983), hal. 214.
[12] Miriam Budiarjo (Penyunting), Partisipasi dan Partai Politik,(Jakarta : PT Gramedia, 1982), hal. 14.
[13] Nazaruddin Jamsuddin, Dinamika Sistem Politik Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia, 1993), hal. 143-144.
[14] E. Shobirin Nadj (ed), Menjaring Aspirasi Rakyat Catatan Dari Dialog Anggota DPR Dengan Rakyat, (
Komentar