Pendapat

Merumuskan Sistem Kepartaian Indonesia



A. Pengantar
Sejarah menunjukkan bahwa semenjak diproklamasikan berdirinya NKRI pada tanggal 17
Agustus 1945 hingga kini belum pernah ditangani sebuah pemerintahan yang berhasil menyelenggarakan sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang benar-benar konsisten dan teguh sesuai dengan yang ditanamkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Pemerintahan Presiden Soekarno sejak awal proklamasi kemerdekaan telah banyak menemui kesulitan baik dalam menangani benturan kepentingan antar kelompok Republik sendiri maupun menjaga dan mempertahankan agar pemerintahan NKRI tetap survive dalam menghadapi berbagai ancaman agresi Pemerintahan Belanda. Pemerintah saat itu terombang ambing oleh berbagai desakan untuk mencoba sistem di luar Pancasila dan UUD 1945, yaitu sistem Kabinet Parlementer, kemudian bentuk negara serikat, dan pada tahun 1950-1959 kembali lagi pada sistem parlementer dengan bentuk negara kesatuan. Sistem-sistem tersebut justeru menjerumuskan bangsa Indonesia ke dalam konflik dan perpecahan.[1]
Akhirnya ketika pemerintahan Soekarno sudah tidak stabil lagi yang pada waktu itu dikenal era Orde Lama muncul pemerintahan baru yang dikenal dengan era Orde Baru yang dikendalikan oleh Soeharto. Pada era Soekarno sistem kepartaian yang muncul adalah dengan sistem multipartai, hal ini terbukti ketika pemilu pertama tahun 1955 banyak diikuti oleh partai politik, namun di Era Orde Baru dengan alasan untuk menciptakan stabilitas dan suksesnya pembangunan, akhirnya partai politik banyak yang difusikan dengan hanya merestui dua partai politik dan satu golongan karya. Walaupun demikian tampak jelas kalau yang berkuasa sebenarnya adalah Golkar dan yang lain hanyalah sebagai pelengkap saja. Untuk memperkuat stabilitas nasional Soeharto dengan kekuatan tentaranya menjadikan masyarakat menjadi floating mass, kondisi yang demikian ini dengan harapan agar program pembangunan ekonomi bisa berjalan. Namun, bagaimanapun kuatnya Soeharto dan banyaknya lembaga demokrasi yang ada tetapi fungsinya dikebiri serta menjadikan negara Indonesia masuk perangkap globalisasi, ketika Thailand terkena badai krisis yang pengaruhnya sampai ke Indonesia, menjadikan Indonesia kolap karena dilanda krisis ekonomi dan berlanjut pada krisis kepercayaan. Kondisi yang seperti ini akhirnya menjadikan Soeharto tumbang.
Tumbangnya Orde Baru, diiringi dengan keinginan masyarakat untuk mendirikan partai politik yang selama ini dianggap tabu. Hal ini terbukti partai politik yang muncul pada waktu itu bagaikan munculnya jamur di musim hujan. Luar biasa, itulah yang muncul dari para pengamat karena partai politik yang begitu banyak tidak ditemui di negara selain Indonesia. Akhirnya pemilu tahun 1999 menandai era demokratisasi dimulai karena peserta pemilu cukup banyak dengan menempatkan PDI-P
sebagai pemenang pemilu dan menempatkan Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden. Kenyataan yang muncul dengan tidak adanya dominasi partai politik menjadi stabilitas politik pada waktu itu begitu rentan. Terbukti Gus Dur yang notabene hanya didukung oleh PKB harus turun di tengah perjalanan sebelum habis waktunya. Kemudian Megawati tampil di tengah sistem multipartai dan menghantarkan pemilu era demokratisasi yang kedua tahun 2004 yang didalamnya muncul sistem pemilihan presiden secara langsung. Walaupun dengan koalisi kebangsaan yang didalamnya diisi oleh partai-partai pemenang pemilu, Megawati tetap kalah. Kemudian walaupun SBY-JK memenangkan pemilu presiden langsung SBY-JK belum merasa tentram kalau belum menguasai parlemen akhirnya walaupun pada awal janjinya kabinet nanti akan diisi oleh kalangan profesional, tetap banyak diisi oleh kalangan partai. Koalisi kebangsaan yang selama ini dibangun ternyata pupus juga ketika PPP keluar pada waktu pemilihan ketua DPR dan koalisi kebangsaan juga semakin hancur ketika Akbar Tanjung terpental dari perebutan Ketua Umum Golkar.
Gambaran seperti inilah yang setidaknya menggelitik pemikiran penulis melihat sistem kepartaian kita yang semakin tidak jelas arahnya dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis. Dari sini penulis menduga bahwa semua persoalan bangsa ini muncul karena prodak undang-undang pemilu sendiri yang masih menyisakan banyak persoalan dan sistem kepartaian kita yang masih abu-abu sehingga menjadikan fungsi partai politik sudah tidak optimal lagi. Apa memang benar demikian..? dari sinilah setidaknya makalah ini mencoba untuk mengelaborasi sistem kepartaian
bagaimana yang kira-kira cocok untuk diterapkan di Indonesia. Pengalaman sistem kepartaian kita yang cenderung melibatkan banyak partai ternyata kurang efektif, apa memang diperlukan hanya dengan sistem satu partai saja.

B. Tataran Teoritik
Adalah Huntington yang mengatakan bahwa sistem satu partai ini merupakan bentuk modern dari bentuk autoritarianisme, namun belum mampu meninggalkan
ciri khas asli dari autoritarianisme sendiri yaitu : tradisional, militeristik dan personalistik. Namun secara umum untuk menghadapi autoritarianisme tergantung pada kemungkinan sistem satu partai itu sendiri berkembang di masyarakat modern. Akan tetapi jika ada perkembangan yang lebih komplek perbedaan pengaruh dan disintegrasi pada sistem satu partai, maka hal yang seperti inilah yang akan menghancurkan sistem masa depan autoritarianisme. Untuk itu diperlukan inovasi politik yang harus mengembangkan bentuk aturan autoritarianisme yang lebih adaptif dan baru.[2]
Sementara itu Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa One Party Systems adalah dipakai untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara, maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya. Namun dalam ketegori yang terakhir ini banyak variasinya.[3] Pola partai yang seperti ini menurut Miriam Budiarjo banyak terjadi di negara-negara Afrika, Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian dalam hal ini dinamakan non-kompetitif oleh karena partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu. Kecenderungan untuk mengambil sistem ini disebabkan karena negara-negara baru pimpinannya sering dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan pelbagai golongan, daerah serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidup. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa partai tunggal atau organisasi yang bernaung dibawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat serta
menekankan perpaduan dari kepentingan partai dengan kepentingan rakyat secara menyeluruh.[4]
Menurut pandangan Huntington sistem satu partai berbeda dengan sistem partai yang dominan, dimana dalam sebuah pemerintahan ada satu partai besar yang memerintah dan ada juga beberapa partai yang kecil, namun tidak dapat dianggap remeh dalam kalkulasi politik serta batas keduanya tidak dapat dibedakan dengan tepat karena yang berkuasa sama-sama dalam satu partai.[5] Hal ini bisa dijelaskan bahwa walaupun dalam sebuah negara ada partai yang berkuasa dan dominan, tetapi dalam pengambilan sebuah keputusan tidak begitu saja melupakan partai-partai kecil yang tentunya mempunyai kekuatan bila mereka mengadakan koalisi. Sementara itu kekuatan dan kelemahan sistem kapertaian ini menurut Huntington dapat dilihat dari : legitimasi sistem politiknya, rekruitmen pemimpin politiknya, agregasi ketertarikan dari pembuat kebijakan.[6] Dalam sistem satu partai, hanya ada satu aktor[7] yang signifikan, tetapi dibatasi oleh sistem partai yang ada dalam sebuah negara tersebut.
Kelebihan sistem satu partai tidak hanya ditentukan oleh (legitimasi sistem politik, rekruitmen pemimpin politik, agregasi ketertarikan dari pembuat kebijakan) saja, tetapi ada faktor yang lain. Sedangkan kelemahan dari sistem satu partai belum tentu partai tersebut mampu mendominasi sistem politik secara keseluruhan, bisa saja hanya menjadi partai minor. Kemudian Huntington melihat bahwa efektifitas sistem authoritarian ini akan efektif bila partai itu lemah, namun dalam perjalanannya kekuatan rezim authoritarian ini juga tergantung dari perkembangan partai politik itu sendiri.[8] Namun pandangan Huntington tersebut menurut hemat penulis, masih menyisakan berbagai interpretasi dari banyak orang, karena latar belakang dan kondisi masyarakat dalam sebuah negara juga mempengaruhi bagaimana sistem satu partai itu sendiri dijalankan. Dengan demikian tidak mungkin penerapan sistem satu partai ini diterapkan ke semua negara, perlu dilihat dahulu bagaimana kondisi negara tersebut.


C. Diperlukan Keberanian Elite Untuk Mengubah Sistem Pemilu
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian politik LIPI di lembaga legislatif lokal di Indonesia didapatkan bahwa interaksi antara masyarakat dengan partai politik hampir sebagian besar hanya terjadi menjelang dan selama masa pemilihan umum saja. Kemudian hubungan antara masa pemilih akan pupus setelah para wakil rakyat duduk di lembaga legislatif. Selesainya pemilu dan bekerjasanya para anggota lembaga legislatif sekaligus menandai berakhirnya dinamika dan kehidupan partai politik. Terpilihnya mereka ke dalam legislatif menjadikan aktifitas parpol semakin surut. Padahal interaksi parpol dengan pemilih adalah merupakan faktor penting untuk membangun pemerintahan yang efektif. Praktis relasi parpol dengan massa pemilih hanya terjadi melalui kunjungan kerja pada masa reses saja, itupun belum tentu aspirasi masyarakat bisa menjadi bahan mentah bagi perumusan kebijaksanaan. Kemudian sistem multipartai ternyata belum berkontribusi terhadap produktifitas pemerintahan lokal. Demikian juga sistem multipartai juga hampir tidak memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat untuk mengontrol kehidupan internal partainya, termasuk perilaku dan kinerja wakilnya di lembaga legislatif, akhirnya terjadilah kecenderungan yang berujung pada personalisasi kekuasaan.[9]
Kalau memang seperti itu, setidaknya menurut pandangan penulis sistem multipartai sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia karena kenyataannya yang namanya perpecahan partai politik pada saat ini menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan seperti yang terjadi pada PKB. Kondisi tersebut karena belum kuatnya ikatan emosional antara masa pemilih dengan partai politik terkusus dengan para wakil mereka di lembaga legislatif. Kondisi demikian inilah yang menyebabkan berbagai persoalan karena ketika terjadi perbedaan pandangan dalam partai politik, yang terjadi bukan pelembagaan politik secara baik, justeru yang muncul adalah fragmentasi yang kuat. Kemudian hal ini juga disebabkan karena proses pengkaderan dan rekruitmen kader dalam parpol tidak dilakukan dengan baik terkusus bagi partai-partai yang muncul pasca reformasi. Daniel Dhakidae[10] sendiri mempertegas bahwa partai yang muncul di era reformasi tidak mempunyai akar sejarah yang kuat dan baru dalam berbagai hal. Kondisi yang demikian tidak mengherankan lagi kalau partai politik mudah pecah pada saat ini. Deliar Noer sendiri mempertegas bahwab munculnya banyak partai dan konflik dalam partai ini karena adanya perselisihan pribadi suka dan tidak suka kepada seorang pemimpin tertentu, sehingga berdiri partai politik yang pergantungannya lebih terletak pada pemimpin dari pada pada prinsip dan ideologi itu sendiri.[11] Kemudian kebijakan mengenai aturan yang berkaitan dengan Partai Politik dan Pemilu pada saat itu memang dalam kondisi euforia, sehingga keputusan dan aturan yang berkaitan dengan politik bersifat instan. Dengan demikian harapan munculnya banyak partai politik, ternyata tidak menjamin kehidupan sistem politik dan kepartaian berjalan dengan baik di Indonesia. Kalau memang demikian harus dimulai dari mana untuk mewujudkan sebuah sistem politik dan kepartaian yang benar-benar dapat memakmurkan rakyat.
Setidaknya yang paling utama untuk keluar dari persoalan ini adalah dibutuhkan keberanian para elite politik dan pengambil kebijakan di Legislatif untuk melakukan perubahan mengenai sistem pemilu dan kepartaian kita. Tampaknya sistem multipartai pada saat ini belum cocok untuk diterapkan disaat bangsa ini sedang menghadapi dinamika persoalan yang ada di daerah-daerah. Kemudian yang terpenting disini adalah, kedepan bagaimana sistem pemilu yang terjadi pada tahun 2004 lalu, yang didalamnya masih menyisakan adanya kebohongan terhadap publik harus diubah. Karena kenyataanya para wakil rakyat yang duduk di legislatif sebagian besar jadi bukan karena kehendak rakyat, tetapi karena aturanlah yang menguntungkan mereka. Aturan yang tercipta selama ini merupakan hasil kompromi politik mereka yang pada dasarnya masih enggan untuk tidak terpilih lagi.


D. Sistem Distrik dan One Party System Sebuah Jawaban
Untuk mewujudkan sistem kepartaian yang baik, selain dibutuhkan keberanian elite untuk mengubah aturan, sistem distrik menurut hemat penulis terlepas dari kelebihan dan kekurangannya akan menjadi permulaan yang baik dalam mewujudkan hubungan yang erat antara rakyat dengan pengambil kebijakan. Kerena dengan sistem proporsional yang konsekwensinya muncul banyak partai, ternyata tidak begitu berpengaruh dalam proses artikulasi dan agregasi politik dalam proses legislasi. Yang terjadi kepentingan elitelah yang selama ini diutamakan daripada kehendak rakyat, karena fungsi partai sendiri tidak dapat berfungsi dengan baik. Miriam Budiarjo sendiri mengatakan bahwa partai politik merupakan sarana untuk berpartisipasi yang didalamnya terdiri dari para pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan dan idiologi sosial dengan lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik dalam masyarakat politik yang lebih luas.[12] Untuk itu setidaknya dengan sistem pemilu distrik ada hubungan yang erat antara para pengambil kebijakan dengan rakyatnya.
Nazaruddin Syamsuddin menjelaskan bahwa sistem distrik ini mensyaratkan adanya keadaan yang relatif saling kenal antara rakyat pemilih dengan wakil yang dipilihnya. Malah sering pula, masyarakat pemilih bukan hanya kenal dengan pilihannya, melainkan juga dengan keluargannya. Adanya pertalian akrab antara pemilih dengan orang yang dipilihnya, memudahkan rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan menuntut pertanggungjawaban dari wakilnya di kemudian hari. Agar sistem distrik dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan suatu kondisi masyarakat yang memungkinkan beroperasinya sistem tersebut. Kondisi yang umum untuk itu adalah bahwa rakyat telah mencapai tahap kedewasaan tertentu. Tingkat kedewasaan itu dapat dilihat dari : tingkat rasionalitas untuk menentukan kemampuan rakyat di dalam menjatuhkan pilihan terhadap berbagai calon yang saling bersaing didistrik mereka. Kemudian tingkat kesadaran politik yang tinggi akan dapat memilah ikatan-ikatan ideologis dari program yang diajukan kepadanya. Dengan kata lain, calon dipilih bukan karena kesamaan ideologi, melainkan karena kesamaan program yang ditawarkannya. Juga dengan kesadaran politik yang tinggi masyarakat dapat menilai perilaku partai yang diwakili oleh seorang calon. Kendatipun terdapat kondisi yang demikian, operasionalisasi sistem distrik sangat tergantung pada kehidupan politik masyarakat. Pelaksanaan sistem distrik tergantung pada bagaimana demokrasi dipraktekkan.[13]
Kemudian kurangnya sense of responsibility anggota legislatif terhadap rakyat yang memilihnya telah mengakibatkan kunjungan reses anggota dewan selama ini tidak efektif. Hal ini karena kurangnya kesadaran moral dan politik anggota dewan yang seharusnya menjalankan kewajiban untuk mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan politik masyarakat. Kurangnya rasa tanggungjawab para wakil rakyat ini menyebabkan beberapa persoalan diantaranya adalah :

1.
Terjadinya gap, jarak sosial dan politik yang jauh antara masyarakat dan anggota legislatif.
2.
Tidak adanya pertanggungjawaban secara politik seorang anggota legislatif kepada masyarakat yang diwakilinya.
3.
Akibat kepentingan masyarakat daerah tidak terwakilkan dalam proses pengambilan kebijakan, maka mekanisme sistem politik lebih banyak dipengaruhi oleh elite daripada masyarakat.
4.
Muncullah yang namanya desentralisasi setengah hati, yaitu cara kerja sentralisasi politik yang dibungkus dalam sistem politik desentralisasi.
Untuk itu sistem distrik disini merupakan sebuah alternatif jawaban, karena anggota legislatif akan mempunyai akuntabilitas politik kepada masyarakat daerahnya. Implikasi dari pemilihan umum yang lebih menekankan sistem distrik, maka rantai penyampaian aspirasi masyarakat kepada anggota dewan lebih pendek sehingga dapat mendorong masyarakat untuk menuntut akuntabilitas politik kepada anggota dewan.[14]
Dengan demikian sebenarnya distrik bukan sesuatu yang menakutkan sebagaimana yang ditakutkan pada masa Orde Baru, karena selama ini rakyat lebih beruntung kalau mengenal wakil-wakil mereka. Sementara itu para elite karena merasa tidak mempunyai kedekatan dengan massa pemilih dan merasa bukan berasal dari daerahnya, berusaha bertahan dengan bermain dalam tataran pembuatan kebijakan yang menguntungkan mereka daripada mementingkatn kepentingan masyarakat. Dari sinilah setidaknya ada relevansi bahwa dengan sistem distrik akan menuju pada sistem satu partai serta akan terwujud sebuah kelembagaan dan regulasi-regulasi politik yang memungkinkan untuk memperkuat hubungan antara masyarakat dengan para elite atau wakil mereka. Disamping itu partai politik akan dituntut untuk dapat berfungsi dengan baik. Kalau partai mampu berfungsi, akan mendukung kesadaran masyarakat untuk melakukan partisipasi politik dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Dengan partisipasi politik masyarakat yang mempunyai integrasi dengan para elite/wakil mereka akan tercipta pelembagaan konflik bila terjadi konflik dalam sebuah partai politik dalam mewujudkan modernisasi partai politik itu sendiri.


E. Penutup/Kesimpulan
Harapan untuk mewujudkan one party system di Indonesia, bukanlah sesuatu yag mudah disaat bangsa ini sedang dilanda angin reformasi dan demokratisasi. Namun, bagi penulis bukanlah sesuatu yang tidak mungkin Indonesia mengarah pada sistem satu partai. Semua itu tergantung dari keberanian dan keterbukaan para elite kita untuk memahami arti pentingnya partai politik dan masa depan sistem politik Indonesia. Selama elite masih ingin tetap berkuasa walau sebenarnya tidak didukung oleh rakyat, tetapi hanya berdiri diatas aturan yang mereka ciptakan secara sepihak, sangat sulit untuk mewujudkan sistem politik dan kepartaian yang benar-benar memperhatikan kemakmuran rakyat. Untuk itu hanya ada satu tawaran elite berani melakukan perubahan demi kemakmuran rakyat walau punya resiko siap untuk tidak duduk di legislatif, atau mereka tetap duduk di legislatif tetapi mengingkari keinginan rakyat. Inilah yang setidaknya harus dilakukan oleh mereka kalau ingin Bangsa ini keluar dari kebuntuan reformasi. (hd)


DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986)

---------------------- (Penyunting), Partisipasi dan Partai Politik,(Jakarta : PT Gramedia, 1982)

Huntington, Samuel P, Moore, Clement H. (ed), Authoritarian Politics In Modern Society The Dinamics of Established One Party Systems, (New York : Basic Books Inc Publ, 1970)

Harian Umum Kompas, Kamis 12 Mei 2005

Idris, A Kemal, Ardiantoro, Juri (penyunting), Problem Sistem Politik Transisional dan Tuntutan Penyelengaaraan pemilu 1999, (Jakarta : KIPP Jakarta, 1999)

Ma’shum, Saifullah, KPU dan Kontroversi Pemilu 1999, (Jakarta : Pustaka Indonesian Satu, 2001)

Noer, Deliar, Pengantar Ke Pemikiran Politik Edisi Baru, (Jakarta : CV Rajawali, 1983)

Sjamsuddin, Nazaruddin, Dinamika Sistem Politik Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia, 1993)

Shobirin Nadj, E (ed), Menjaring Aspirasi Rakyat Catatan Dari Dialog Anggota DPR Dengan Rakyat, (Jakarta : CESDA-LP3ES, 2003)



[1] A Kemal Idris, Juri Ardiantoro (penyunting), Problem Sistem Politik Transisional dan Tuntutan Penyelengaaraan pemilu 1999, (Jakarta : KIPP Jakarta, 1999), hal. 39-40.

[2] Samuel P. Huntington, Samuel P. Huntington And Clement H. Moore (ed), Authoritarian Politics In Modern Society The Dinamics of Established One Party Systems, (New York : Basic Books Inc Publ, 1970), hal. 4

[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 167.

[4] Ibid, hal. 168

[5] Huntington, Op Cit, hal. 6.

[6] Huntington, Ibid, hal. 7.

[7] Yang disebut dengan aktor sendiri, dibagi menjadi lima kategori : aktor personalistik seperti pemimpin politik yang kharismatik, aktor tradisional seperti pemimpin gereja/monarkhi, aktor birokrasi misalnya birokrasi dan kepolisian/militer, aktor parlemen misalnya adalah anggota DPR, kelompok fungsi sosial ekonomi misalnya intelektual dan manajer. Dalam waktu tertentu para aktor bisa berkoalisi dan eksis dengan partai.

[8] Huntington, Op Cit, hal. 9.

[9] Harian Umum Kompas, Kamis 12 Mei 2005

[10] Dhakidae dalam hal ini mengkategorikan bahwa lahirnya partai politik ini terbagi menjadi empat generasi. Pertama, partai politik yang berdiri pada zaman pergerakandan motif kelahirannya dilandasi spirit untuk melawan kolonialisme. Kedua, partai yang lahir sesudah zaman kemerdekaan sampai pada pemilu 1955. Partai generasi ini pada umumnya didirikan dengan kepentingan yang sama yaitu memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Ketiga, partai politik yang eksis dan berkembang dibawha kendali kekuasaan Orde Baru. Partai pada zaman ini sebenarnya hanyalah ornamen demokrasi yang diperlukan penguasa yang sejatinya tidak begitu suka dengan partai politik yang dipahami sebagai sebuah institusi yang memiliki kekuatan politik. Keempat, adalah partai yang muncul di era reformasi yang ternyata analisis sosiologisnya menunjukkan adanya kesamaan dengan keberadaan partai pada generasi pertama. Uraian ini lebih jelasnya dapat dilihat dalam Saifullah Ma’shum, KPU dan Kontroversi Pemilu 1999, (Jakarta : Pustaka Indonesian Satu, 2001), hal 26-27.

[11] Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik Edisi Baru, (Jakarta : CV Rajawali, 1983), hal. 214.

[12] Miriam Budiarjo (Penyunting), Partisipasi dan Partai Politik,(Jakarta : PT Gramedia, 1982), hal. 14.

[13] Nazaruddin Jamsuddin, Dinamika Sistem Politik Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia, 1993), hal. 143-144.

[14] E. Shobirin Nadj (ed), Menjaring Aspirasi Rakyat Catatan Dari Dialog Anggota DPR Dengan Rakyat, (Jakarta : CESDA-LP3ES, 2003), hal, 178-179.

Komentar

Postingan Populer