Keormasan

ORIENTASI
NU Tidak Bisa Lepas dari Politik


Nahdlatul Ulama tidak bisa dilepaskan dari aktivitas politik. Namun, politik yang dilakukan NU adalah politik keumatan dan kebangsaan berdasarkan amar makruf nahi mungkar atau mendorong kebaikan mencegah keburukan, bukan politik untuk memperoleh kekuasaan.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi sebagai bagian dari Laporan Pertanggungjawaban PBNU Periode 2004-2009 di Aula Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (24/3) malam. Hadir dalam penyampaian laporan itu Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudz, Wakil Rais Aam KH Tholchah Hasan, dan Katib Aam Nasarudin Umar.

Laporan yang disampaikan dengan retorika yang menarik itu mengundang tepuk tangan sejumlah peserta muktamar. Saat pimpinan sidang Nasarudin Umar menanyakan apakah laporan itu bisa diterima, semua peserta muktamar secara aklamasi menerima laporan pertanggungjawaban itu.

Namun, prinsip politik NU itu sering dimaknai berbeda oleh kelompok-kelompok tertentu di luar NU berdasarkan kepentingan masing-masing. Ada kelompok di luar NU yang benar-benar menjadikan NU sebagai kekuatan masyarakat sipil, tetapi ada pula kelompok yang tidak senang NU berpolitik karena akan mengganggu kepentingan politik mereka. Selain itu, ada pula kelompok yang tidak menginginkan NU berpolitik dengan alasan ideologis, yaitu lepasnya hubungan antara agama dan negara.

Menurut Hasyim, amanat Muktamar Ke-31 NU di Boyolali, Jawa Tengah, pada 2004 bukan membuat NU steril dari politik, tetapi menata politik NU berdasarkan rasionalitas dan akhlak. Karena itu, perdebatan yang selama ini mengemuka, apakah NU bisa berpolitik atau tidak seharusnya, tetapi bagaimana berpolitik secara arif atau tidak.

Persoalan Khittah (Dasar) NU juga dimaknai berbeda-beda. Menurut Hasyim, jika dalam pemilu kepala daerah (pilkada) yang didukung NU menang, dianggap tidak melanggar Khittah NU. Namun, jika calon yang didukung dalam pilkada kalah, itu dianggap tidak khittah.

Pengurus juga mencermati, banyak kader NU yang terjun di politik praktis hanya ingat terhadap NU jika akan bertarung dalam pemilu atau partainya menghadapi masalah. Namun, saat berhasil menduduki jabatan politik, mereka lupa dengan NU.

Di Jakarta, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat berpendapat, NU tidak mungkin bisa lepas dari wilayah politik dan sosial sebab mereka sangat kuat. Negara memang membutuhkan NU.

”Namun, peran politik NU lebih pada politik moral dan kebudayaan, bukan politik praktis,” kata Komaruddin.

Kompas, 25 Maret 2010

Komentar

Postingan Populer